Liputan6.com, Jakarta - Kisah hidup Pangeran Diponegoro dipenuhi misteri dan mitos. Kalah akibat dicurangi pada pertemuan di Magelang oleh Belanda, Pangeran Diponegoro pernah dianggap sebagai pemberontak cukup lama.
Bahkan, kisah yang kemudian beredar serta dimasukkan dalam pelajaran sejarah di sekolah, Pangeran Diponegoro memberontak akibat tanah makam leluhurnya bakal dijadikan jalan raya oleh Belanda. Hal ini seperti mengecilkan peran sang pangeran dalam Perang Jawa 1825-1830 yang sangat terkenal tersebut.
Tidak hanya karena lamanya durasi perang yang mencapai lima tahun, Perang Jawa disebut sangat besar dan melelahkan lantaran besarnya biaya yang dihabiskan. Perang Jawa membuat kas Belanda terkuras, hingga dibutuhkan Tanam Paksa untuk mengembalikan uang kas yang kosong melompong.
Pameo umum mengatakan sejarah ditulis oleh pemenang. Banyak tulisan, babad, tambo serta kitab dari berbagai penguasa—baik yang ditulis sendiri maupun oleh juru tulis—penuh puji-pujian dengan tujuan meningkatkan citra dirinya sendiri.
Fakta mengenai Pangeran Diponegoro yang selama ini kita ketahui dalam pelajaran di bangku sekolah, ternyata sangat berbeda dan benar-benar salah. Misalnya saja, selain soal tanah makam, Pangeran Diponegoro disebutkan melawan Belanda karena dia ingin menjadi raja.
Peter Carey, profesor tamu di Universitas Indonesia mengatakan, Pangeran Diponegoro menganggap dirinya sebagai Ratu Adil yang ditakdirkan membela rakyat Jawa dari penindasan. Tindakannya murni benar-benar ingin membela rakyat kecil.
Perjuangan Diponegoro sangat sulit dikalahkan, sampai-sampai Belanda perlu menerapkan strategi khusus yang penuh tipu muslihat. Perjuangannya pada saat itu didukung tiga kelompok masyarakat, yakni: para bangsawan, rakyat, dan ulama. Pesona sang pangeran membuatnya tidak hanya ditakuti, tapi juga disegani oleh lawan.
Wardiman Djojonegoro, pengusul Babad Diponegoro sebagai warisan dunia Unesco, mengatakan penelitian Peter Carey membuka wawasan baru terhadap pendapat para sejarawan Belanda yang sudah diyakini sebelumnya.
Dalam Urip iku Urub, buku untaian persembahan 70 tahun Profesor Peter Carey, dia mengatakan tulisan sejawaran Belanda abad ke 19, yang merupakan pakar sejarah militer, soal Perang Jawa, seperti P.J.F Louw (1856-1924) dan E.S. de Klerk (1869-1939) menyatakan Diponegoro angkat senjata karena tidak diberi takhta oleh Belanda setelah wafat adiknya, Sultan Hamengkubowo IV (bertakhta 1814-1822) pada 6 Desember 1822.
Pada saat itu, Pemerintah Hindia Belanda mempunyai pengaruh besar dalam pengangkatan para raja dan petinggi di Jawa. Asumsi ini diterima oleh semua buku sejarah dan Encyclopedia Britanica pun mengutipnya. Maka, tulisnya, benarlah pepatah yang mengatakan sejarah ditulis oleh pemenang.
Mantan Mendikbud ini juga menyebut, buku-buku sejarah di SD, SMP, SMA juga mengutip bahwa sebab Diponegoro berperang melawan Belanda karena dia tidak mendapat takhta. Padahal, dalam autobiografinya yang ditulis di Manado (1831-1832) sang pangeran dengan jelas memberi tahu dia telah dua kali menolak menjadi pewaris takhta, yaitu pada zaman Inggris (1811-1816) dan setelah pemerintah Belanda kembali pada 19 Agustus 1816.
Selain itu, juga dikutip sebuah kalimat dari sejarawan Belanda adalah kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo akan terkena pelebaran jalan yang menerjang jalan makam nenek moyang di Desan Tompeyan, di sebelah timur Tegalrejo. Dikisahkah bahwa sang Pangeran tidak dapat menerimanya. Malahan, ada buku sejarah yang menyebut asal muasal perkara adalah pembuatan rel kereta api.
Takdir Sang Pangeran
Wardiman, mengutip Peter Carey, menyebut pendapat para sejarawan Belanda itu sebagai nonsense alias omong kosong belaka, sebab Staatspoorweg (Perusahaan Kereta Api milik Pemerintah Hindia Belanda) yang menghubungkan Yogya dan Cilacap melalui areal Tegalrejo di barat ibu kota Kesultanan baru dibuka 62 tahun sesudah Perang Jawa, yaitu pada 20 Juli 1887.
Selain itu, yang tidak disebutkan oleh sejarawan Belanda sesungguhnya adalah kemiskinan yang parah di daerah Jawa akibat pajak tol, yakni pajak yang dikenakan terhadap seseorang jika melalui desa. Tol itu diserahkan kepada penarik tol atau pachter (bandar) dari Tiongkok. Pajak ini diberlakukan secara semena-mena.
Peter Carey menyebut, bila orang Belanda meminta pemasukan yang lebih, maka setiap benda yang dibawa, bahkan termasuk bayi juga dikenai pajak! Petani Jawa sampai menjuluki pajak ini sebagai pajak bokong.
Peter Carey sendiri dalam bukunya Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1782-1855) menggunakan pendekatan spiritual dan mistik, yakni pengaruh takdir dalam kehidupan seseorang. Sang pangeran sudah diramalkan oleh kakeknya, Sultan Mangkubumi, akan mengguncang tatanan lama di Jawa.
Tidak hanya karena hubungan baik dengan rakyat yang diakrabinya sendiri di luar Keraton, Diponegoro sendiri juga mendapat wangsit dari penampakan Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan yang dipercaya sebagai pelindung Keraton dan raja-rajanya.
Adanya perpecahan di kalangan Keraton Jogja sendiri turut menggerogoti perjuangan sang pangeran yang selalu berserban ini. Ditambah mundurnya panglima perang yang paling dipercayainya, Kiai Mojo, perjuangan Pangeran Diponegoro kandas pada 1830. Pangeran Diponegoro lantas diasingkan ke Manado, lalu ke Makassar hingga akhir hayatnya.
No comments:
Post a Comment