Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa Ratna Sarumpaet menanggapi jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntutnya dengan hukuman enam tahun penjara. Ratna menilai tuntutan itu lebih tinggi dibandingkan untuk terdakwa korupsi.
Demikian disampaikan Ratna Sarumpaet dalam berkas duplik yang disampaikan pengacaranya Insank Nasruddin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Ratna Sarumpaet pada tanggal 16 Juli nanti genap berusia 70 tahun. Di usia yang ke-70 tahun ini terdakwa masih diharuskan menghadapi tuntutan hukum yang sangat berat, bahkan lebih berat dari tuntutan seorang pelaku korupsi," kata Insank Nasruddin di persidangan, Selasa (25/6/2019).
Ratna Sarumpaet hari ini kembali menjalani persidangan atas kasus penyebaran berita bohong atau hoaks yang menempatkan dia sebagai terdakwa. Dalam persidangan ini, Insank Nasruddin mewakili Ratna Sarumpaet membacakan materi duplik.
Dia mengatakan, dalam persidangan terungkap fakta bahwa terdakwa menceritakan peristiwa penganiayaan dirinya hanya kepada keluarga dan teman-temannya dengan maksud untuk menutupi rasa malunya dan bukan bertujuan membuat keonaran di masyarakat.
"Telah menjadi fakta persidangan juga bahwa tidak ada keonaran akibat dari cerita penganiayaan terhadap terdakwa, sehingga pada persidangan ini tidak terbukti terdakwa telah melanggar Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 karena tidak ada satupun dari perbuatan terdakwa yang memenuhi unsur-unsur delik dari pasal tersebut," ujar Insank.
Dia juga berpendapat bahwa kasus yang mendera kliennya bukanlah perbuatan pidana. Maka patut diduga kasus ini cenderung dipaksakan sebagai upaya untuk membungkam seorang Ratna Sarumpaet yang selalu kritis kepada pemerintah sebagai seorang aktivis demokrasi.
"Hal ini dibuktikan dengan pasal yang digunakan adalah pasal yang seharusnya dipakai dalam keadaan genting yang tercatat dalam sejarah tidak pernah diterapkan sejak Indonesia merdeka. Kami mengkategorikan sebagai pasal basi," ujar dia.
Poin Bantahan Ratna
Insank menegaskan menolak seluruh dalil JPU, di antaranya dalam replik yang disampaikan JPU menyatakan bahwa penyiaran yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana memberi pengertian memberitahu.
Dia mengatakan, jaksa keliru apabila memberitahu dimaknai sebagai penyiaran sebab kedua kata tersebut berbeda maksud dan makna.
"Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyiarkan mengadung arti memberitahu kepada umum melalui radio, surat kabar dan lain sebagainya. Sementara memberitahu mengandung arti Menyampaikan (kabar) supaya diketahui atau mengumumkan menyebarluaskan," ujar dia.
Isank memperkuatnya dengan pendapat ahli bahasa Dr Frans Asisi yang dihadirkan di persidangan. Frans menyebut menyiarkan merupakan aktivitas, menyiarkan harus menggunakan alat penyiaran berupa radio atau televisi.
"Apabila menyampaikan secara langsung dan tanpa alat siar bukan merupakan tindakan menyiarkan," ucap dia.
No comments:
Post a Comment