Liputan6.com, Jakarta - Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan sebagian besar pengaduan masyarakat yang masuk ke pihaknya terkait kerugian di sektor ekonomi digital.
Berdasarkan data Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, tercatat pengaduan yang terkait ekonomi digital menduduki peringkat pertama selama tiga tahun terakhir. Jumlahnya berkisar 16-20 persen dari total komoditas pengaduan yang diterima YLKI.
"Pengaduan itu berupa transaksi produk e-commerce, dan atau pinjaman online," kata dia, di Kantornya, Jakarta, Jumat (25/1/2019).
Hal ini, kata Tulus, karena pengawasan dan regulasi pemerintah terhadap sektor bisnis daring alias ekonomi digital masih lemah. Dia mengatakan, saat ini pelaku pinjaman online yang terdaftar di OJK hanya 72 saja, tetapi di lapangan yang beroperasi mencapai lebih dari 350 pelaku.
"Kenapa dibiarkan? Padahal mereka adalah ilegal, OJK bisa langsung bersinergi dengan Satgas Waspada Investasi dan Kementerian Kominfo, untuk langsung memblokir pinjaman online yang ilegal tapi masih bergentayangan. Demikian juga dalam hal belanja online, e-commerse," ungkapnya.
Dia menuturkan, tentu amat berbahaya bila transaksi antara konsumen dengan pedagang berjalan tanpa pengawasan oleh regulator. Sebab potensi pelanggaran hak konsumen sangat besar.
"Terbukti, menurut data 24 persen uang konsumen hilang dalam transaksi tersebut, alias teljebak aksi transaksi penipuan. Belum lagi pengaduan seperti barang yang diterima konsumen rusak, tidak sesuai, atau terlambat dalam pengiriman," ujar Tulus.
Dari sisi aturan, lanjut dia, harus diakui jika sampai sekarang belanja online belum ditopang dengan regulasi yang memadai. Mulai belum adanya UU Perlindungan Data Pribadi, sampai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
"Sampai sekarang masih tersimpan di laci Sekretariat Negara. Alias mangkrak! Padahal transaksi e-commerse saat Harbolnas (Hari Belanja Online Nasional), angka pertumbuhannya melompat sampai dua digit. Jika Harbolnas 2012 angkanya hanya mencapai Rp 67,5 miliar; maka pada 2017 melambung menjadi Rp 4,7 triliun," tegasnya.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Pelanggaran Hak Konsumen Taksi dan Ojek Online Masih Masif
Hanya sektor transportasi online dan finansial teknologi (fimtek) yang regulasinya lumayan bagus, walau dalam pengawasan masih kedodoran.
Hal itu terbukti dengan pelanggaran hak konsumen taksi dan ojek online, masih sangat masif. Berdasarkan survei YLKI pada September 2016, 45 persen konsumen transportasi online pemah dikecewakan.
Bahkan kini terbukti, transportasi online tidak senyaman dan tidak seaman yang dibayangkan sebelumnya.
Berbagai kriminalitas, termasuk pembunuhan, beberapa kali terjadi di angkutan online. Korban utamanya adalah konsumen. Di sisi yang lain, sopir angkutan juga hanya menjadi korban eksploitasi para kapitalis yang bercokol di angkutan online.
Pelanggaran hak konsumen yang tak kalah sadisnya adalah sektor tinansial teknologi, dengan Peer to Peer Landing, alias pinjaman online. "Level keluhan pinjaman online bukan sekadar gangguan kenyaman saja, tapi sudah menembus ancaman keamanan dan keselamatan konsumen, dan berpotensi melanggar HAM konsumen," ungkapnya.
Penyebab lain masih tingginya pelanggaran hak konsumen di sektor ekonomi digital yakni masih terkait literasi digital konsumen.
Padahal, transaksi ekonomi digital mensyaratkan literasi yang tinggi pada konsumen, yakni kemampuan konsumen yang handal terkait sisi teknologi digital, dan atau kemampuan membaca berbagai persyaratan teknis sebelum transaksi dilakukan.
"Juga prinsip kehati-hatian konsumen terhadap data pribadi, mulai alamat email, alamat rumah, alamat kontak telepon, foto pribadi, dan video. Terhadap kehati-hatian perlindungan data pribadi, konsumen juga masih rendah. Rendahnya literasi digital ini, akan berdampak terhadap berbagai persoalan yang ending-nya merugikan konsumen," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
No comments:
Post a Comment